Hermeneutika
merupakan proses menerjemahkan dan diterjemahkan atau merupakan kegiatan
interpretasi. Segala yang ada dan yang mungkin ada di dunia ini dapat
diinterpretasikan menjadi suatu pengetahuan baru bagi kita. Sebagai contoh,
ketika kita membaca maka kita akan melakukan interpretasi terhadap apa yang
kita baca dan ini akan menjadi pengetahuan baru bagi kita. Hermeneutika digunakan
di setiap sisi kehidupan. Proses menerjemahkan ini akan berlangsung terus
hingga berkembang secara pesat namun juga bisa mengerucut. Namun pada
prinsipnya hermeneutika dilakukan secara terus menerus dan kontinu.
Hermeneutika erat kaitannya dengan
filsafat hidup. Filsafat
hidup dari orang Indonesia yang menempatkan spiritual pada tingkatan yang
paling tinggi. Sehingga segala sesuatu yang terjadi akan dikembalikan kepada
hakikat bahwasanya semuanya adalah kehendak Tuhan. ketika seseorang tidak mampu
memikirkan sesuatu maka spiritual adalah titik balik baginya dan menyerahkan
segala sesuatunya kepada Tuhan. Ketika seseorang telah mencapai ranah spiritual
maka dapat dikatakan bahwa ia telah dapat berfilsafat untuk hidupnya. Dalam melakukan hermeneutika kita tidak dapat lepas dari
proses penyaringan (reduksi). Oleh Husserl
metode reduksi diberikan suatu fasilitas yang disebut epoche, dimana hal-hal
yang direduksi tersebut masuk ke dalam epoche. Demikian juga dalam matematika.
Karena matematika bersifat abstrak, maka dibutuhkan pereduksian dalam
membelajarkannya. Reduksi ini dilakukan unuk memilih mana yang seharusnya
diajarkan kepada siswa sesuai dengan tahapan kognitifnya.
Hermenetika
pembelajaran matematika terdiri dari dua unsur yaitu garis lurus dan melingkar.
Garis lurus menggambarkan bahwa pembelajaran akan terus berjalan, kita tidak
akan mengulanginya kembali. Sedangkan melingkar artinya kita dapat
mengulanginya, hanya saja berbeda ruang dan waktunya. Hermeneutika
dalam pembelajaran matematika menggunakan prinsip gunung es, dimana dalam
pendekatan ini merupakan realistiknya matematika. Ada matematika horizontal dan
matematika vertika. Dalam matematika horizontal, siswa mengerjakan soal
matematika yang berkaitan dengan dunia nyata berdasarkan cara mereka sendiri,
masih menggunakan simbol yang mereka buat sendiri, mereka belum mengenal
simbol-simbol formal matematika. Sedangkan matematika vertikal adalah saat
mereka telah dapat menggunakan simbol-simbol matematika dalam menyelesaikan
setiap permasalahan matematika atau juga dapat dikatakan telah menggunakan
matematika formal. Pendekatan gunung es ini mempunyai maksud menjadikan siswa
berkompeten dan dapat mengembngkan keterampilan hidupnya.
Pendekatan gunung es dapat
diartikan/diterjemahkan sebagai realistiknya matematika. Dalam matematika
terdapat beberapa tingkatan. Tingkatan matematika ini seperti halnya fenomena
gunung es, dengan urutan mulai yang paling dasar yaitu, (1) matematika konkret;
(2) matematika model konkret; (3) matematika model formal; (4) matematika
formal. Tingkatan ini dimulai dari yang hanya bisa memahami matematika dari
benda-benda yang bersifat konkret kemudian dapat memodelkan matematika ke dalam
benda-benda konkret. Tingkatan selanjutnya yaitu ketika siswa dapat mengerti
dan memahami model formal dari permasalahan matematika, artinya dia sudah bisa melakukan
perhitungan. Tingkatan paling atas yaitu matematika formal. Dalam tingkatan ini
siswa telah mampu membuat sendiri model matematika dari suatu permasalahan
dengan menggunakan simbol-simbol formal matematika.
Matematika banyak dipengaruhi oleh
pemikiran para filsuf. Platonism banyak mempengaruhi matematika sebagai sesuatu
yang bersifat rasional sehingga akobat dari pemikiran ini adalah hilangnya
intuisi pada diri siswa. Absolutisme mengajarkan matematika secara formal.
Matematika diajarkan kepada anak-anak sebagai ilmu formal artinya anak-anak telah dikenalkan dengan simbol-simbol
matematika yang masih bersifat abstrak bagi mereka. Hal ini tentu saja sangat
mengerikan bagi psikologis anak yang menimbulkan ketidaksenangan pada
matematika. Aristotelian banyak mempengaruhi paham konstruktivisme. Dalam paham
konstruktivisme matematika diajarkan melalui pengalaman sehingga siswa
membangun sendiri struktur pengetahuannya. Kurikulum yang ada di Indonesia saat
ini berusaha untuk mengubah pembelajaran dari yang bersifat tradisional ke
konstruktivisme. dalam pembelajaran yang bersifat traditional, iswa hanya
mendengarkan guru menjelaskan kemudian memberikan latihan soal dan mengerjakan
ltihan soal. Dalam pembelajaran ini siswa kurang mendapatkan makna dalam
belajar. Sedangkan dalam pembelajaran yang bersifat konstruktivisme, guru
berusaha untuk menumbuhkan pengetahuan siswa melalui rangkaian kegiatan
eksplorasi sehingga sedikit demi sedikit pengetahuan siswa akan terbentuk dan
kemudian akan tumbuh dan berkembang. Pada prinsipnya,
konstruktivisme bertujuan untuk mengembangkan keterampilan hidup.
0 Response to "Hermeneutika Pendekatan Gunung Es (The Iceberg Appraoch)"
Posting Komentar